Hai kawan-kawan pembaca blog
saya. Kali ini Saya akan bercerita tentang si Kancia (Kancil), yap Kancia dalam bahasa minangnya. Dalam cerita-cerita dongeng kancil memnag punya
banyak akal untuk mencapai tujuanya, dan tak jarang pula Ia jahil sehingga
menganggu hewan lainya. Cerita ini Saya
dengar dari Ayah. Ayah adalah pemilik warung dimana Saya dan teman-teman sering
nongkrong disana. Ayah juga orang tua dari teman karib Saya dan lainya yang
telah berteman sejak sekolah dahulu.
Seperti biasa, Saya dan teman lainya sedang bersenda gurau. Lalu
Ayah duduk diantara kami, dan mula bercerita. Ayah sering memberi kami
inspirasi, dan tak jarang pula ikut bersendagurau. Dalam adat Minang, Paman dan
Keponakan tak jarang harus duduk bersama, berkomunikasi tentang adat dan
kehidupan.
Entah kenapa waktu itu ayah bercerita tentang si Kancia, Saya
dan yang lainya mendengarkan dengan santai. Entah dari mana ayah mendapati
cerita itu, yang jelas ayah telah hidup lama dari kami, dan kamipun belum
pernah seumur ayah.
Kancia dan Kalinci
Ancuponataim, si Kancia
bertemu dengan seorang temanya si Kalinci (Kelinci). Kancia begitu sombong dan
sok berkuasa. Ia berkata “Kok dunia ko
punyo tali pangikek, Den iriknyo kama Den nio. Kok dunia ko tabungkuih den
jinjiangnyo jo tanago Den.” Begitu sombongnya si Kancia, ia ingin menarik dan
menjinjing dunia dengan kekuatanya. Mendengar itu Kalinci tertegun. “Ang dek
alun basobok jo urang tu iyo,” sahut si Kalinci menantang si Kancia.
Si Kancia merasa tertantang, dan mengatakan Ia akan melawan
manusia dan merobohkanya. Si Kancia menunjuk sebuah batang pohon, “Tu batang
diank kan? Caliak den dih! Den Robohan batang tu!,” ujar si Kancia kepada si
Kalinci menunjuk sebuah batang pohon yang sama besar dengan badanya. Si kancia
menyeruduk pohon tersebut, hingga tumbang dengan satu kali hantaman.
Kalinci sedikitpun tak heran. “Jadi manyo urang tu?,” ujar
si Kancia kepada si Kalinci sombong. “A kok baitu Ikuik wak lah, basobok jo Urang,”
ajak si Kalinci. Si Kancia dan Kalinci kemudian berpergian mencari
manusia. Kemudian bertemulah Mereka
dengan sorang anak manusia yang sedang bermain. “Itunyo urang tu, bia den
taumbanganyo!,” pongah si Kancia lagi. “Itu indak Urang do, Alun manjadi Urang
lai,” sahut si Kalinci. Mereka kemudian meniggalkan tempat itu dan kembali
mencari manusia yang lain.
Jauh berjalan, kemudian si Kancia dan si Kalinci bertemu
dengan seorang manusia lagi. Seorang remaja sedang bersenda gurau dengan
temanya. Si Kalinci menyebutkan kepada si Kancia bahwa itu juga belum. Jadilah mereka
kembali berjalan, hingga mereka bertemu dengan seorang . orang itu sudah dewasa
menurut pandangan si Kalinci, berpakaian seragam loreng dan membawa sebatang
kayu.
Tak lama memperhatikan manusia tersebut si Kalinci
memperbolehkan si Kancia untuk menyerang manusia tersebut
untuk memperlihatkan keperkasaan dan kuasanya. Berlarilah si Kancia menyerang
manusia tersebut, dengan cepat manusia mengelak dari serangan si Kancia. Disaat
bersamaan manusia itu melakukan sesuatu pada sebatang kayunya, “crikk klik!!,”
begitu bunyi batang kayu tesebut.
Si kancia berlari agak menjauh dari manusia tersebut, agar
seranganya memiliki kekuatan yang kuat untuk menumbangkan manusia. Saat siap
berlari menerjang manusia, batang kayu tersebut diarahkan padanya. Si Kancia
keheranan, “Bagarah se Urang ko!! Kayu diarahane ka aden!!”. Si Kalinci yang
meyaksikan pertempuran itu dari jauh hanya berdiam ditempatnya.
“Door!!!,” bunyi sebatang kayu yang di tangan manusia tadi.
Untung bagi si Kancia benda bulat hitam, panas dan cepat itu
mengenai pahanya. Si Kancia terkejut bukan kepayang, Ia berlari secepat mungkin
dengan menjauhi manusia tersebut. Paha si Kancia berlumuran darah, untung
baginya lagi manusia tersebut tidak mengejar maupun melakukan hal yang sama untuk
kedua kalinya. Manusia tu adalah seorang
tentara yang sedang berjaga di perbatasan.
Keesokan harinya, dengan luka yang sudah mengering. Si
Kancia berjalan dengan tertatih menuju tempat tinggal si Kalinci. “Iyo hebat
urang tu nak...?” tuturnya Kepada si Kalinci. Si kalinci hanya tersenyum kepada
si Kancia. “Maafkan Aden yo Nci, iyo hebat urang tu, jo batang kayu se dari jauah
balubang ikua den dek nyo!!,” ujar si Kancia kepada temanya untuk meminta maaf.
“Kan lai tau tu, nan ketek sadar jo ketek e, nan gadang
amuah jo kuaso e.” Ujar si Kalinci sembari duduk bersebelahan dengan si Kancia,
menyaksikan hutan yang rindang diiringi gemericik dedaunan yang riuh.
(Urang atau orang dalam Indonesia-nya. Dalam bahasa Minang
bermakna manusia yang telah dewasa atau bisa memikirkan sesuatu dengan cermat. Di
makna modern Urang juga dimaknai sebagai manusia dewasa yang sudah memiliki
harta dan jabatan tertentu istilahnya sudah tercapai keinginanya. )
Begitulah kisah si Kancia dan si Kalinci. Ayah dan Kami
terbahak mendengar cerita yang di tuturkan oleh Ayah. Cerita klasik seperti
yang diceritakan ayah memiliki unsur moral dan pendidikan, dalam adat Minang
itu disebut Tambo. dahulu orang-orang tua sering bercerita seperti itu, disaat
Saya masih kecil.
Setelah membahas apa yang diceritakan Ayah, tak lama Ayah
kembali bercerita tentang si Kancia dan temanya yang lain, ada dua cerita lagi
yang akan diceritakan oleh Ayah. Kamipun berdiam dan siap mendengar cerita
Ayah.
Tunggu cerita berikutnya yah... ^..^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar