Sudah beberapa bulan berlalu, tapi tumpukan kertas ini belum
sempat Aku amplopkan. Pedih rasanya melihat mereka yang telah kugores tak
sampai kepada maksud. Seiring berjalanya waktu mereka makin tua dan tak berarti. Waktulah yang membuat mereka
begitu. Dan waktulah yang membuatku tak memasukan mereka ke dalam amplop.
Mereka marah, aku tau. Hanya tetesan air mata yang kuberikan kepada mereka, aga
mereka tenang dan diam.
Denting jam berlalu tetapi ia masih tetap berada di angka
dua, dan di angka dua belas di jarum lainya. Terik siang itu membakar semua
pedih dihadapan surat-surat untuknya. Angin datang melalui jendela yang terbuka
lebar didepanku, seakan ia menawarkan diri untuk mengirimka surat-surat itu
kepadanya. Tetapi aku tolak, aku merangkul semua surat-surat itu.
“jangan, jangan saat ini... jangan sampaikan kepadanya..!!!”
teriaku dalam hati.
Anginpun merasa tak dihargai ia pergi tanpa sepatah katapun.
Tetapi ia masih bisa menyemangatiku, memegang pundaku agar aku tegar. Indah
melihat angin lalu lalang di antara teriknya matahari. Aku beranjak keluar
setelah kusimpan surat-surat itu di dalam laci kecil, bagian kanan meja.
Menuruni tangga yang seakan akan runtuh, tangan ini sudah
tidak lagi kuat menopang dera cambukan batin tiada habis. Kuhitung anak tangga
yang aku lalui, secepat aku menghitung secepat itulah aku lupa berapa anak
tangga yang aku lewati. Menyibak keadaan gelap menuju pintu keluar, hingga aku
sampai pada gagang pintu. Membuka hingga terbuka aku terkejut. Aku terperangah
dengan teriknya matahari dari dari bibir pagar. Aku memberanikan diri untuk
melangkah, menyusuri panasnya matahari tanpa alas kaki. Biar, biarkan panas ini
membasuh semua rasa bersalahku kepada surat-surat itu.
Untuk beberapa saat berlalu aku sampai disebuah warung,
tanpa alas kaki, kaos oblong, celana jeans lusuh dan rambut acak-acakan. Aku
membeli sebuah minuman cola hingga
terima kembalian uangku tak sepatah katapun dari penjaga warung, yang
mungkin masih sebaya denganku. Aku duduk dibangku warung itu, tepat di depan
warung dan sebuah cola kaleng. Sekitar tak ada orang satupun, mungkin mereka
sedang menikmati sejuknya kedaan rumah mereka. Merebahkan diri didepan tlevisi
dan menyaksikan acara membosankan membuat mereka menguap kantuk.
Aku melihat burung-burung gereja terbang rendah di sekitar
bangunan tepatnya di depan warung. Alangkah bebasnya jika aku adalah seekor
burung, paling tidak aku hanya butuh waktu tiga belas tahun untuk
bersenang-senang tanpa tekanan dan tuntutan hidup. Dalam hidup banyak aspek
yang diperhitungkan, jika ingin tidak menghitung hal tersebut sama halnya
dengan rasa cola yang aku teguk ini. aku menark nafas panjang, terlalu berat
yang bahwasanya cukup lega.
Tepat semua terjadi dibelakangku, namun tak kusadari bila
Aku mengetahuinya. Aku terlalu egois dengan berbagai alasan logis yang Aku
miliki. Alasan tentang bagaimana aku tak mengirimkan surat itu kepadanya. Namun
dibalik itu semua tidak ada alasan untuk tidak mengirimkan surat itu.
Aku beranjak pulang, yang kurasakan sama halnya dengan
berjalan ke warung tadi. Untuk kedua kalinya aku lebih menerima keadaan terik
dan jalan panas yang aku lalui. Benar untuk kedua kalinya semua terasa mudah
diterima walaupun terbesit untuk menyangkal. Semua mungkin bisa terulang untuk
kedua kalinya dengan kadar keadaan yang mungkin lebih maupun kurang. Semua tergantung
pada pilihan pilihan. Dan pilihan yang direncanakan memiliki nilai lebih dalam
faktor inkubasi pilihan lainya.
Aku membasuh kaki, tangan dan muka setelah memasuki rumah,
seakan otakku mulai di hidupkan ulang lagi. Aku tau bahwasanya ini adalah
perasaan sementara, yang mungkin akan berubah seiring berjalanya waktu. Aku beranjak
kembali ke kamar, kubuka laci keil sebelah kanan meja. Aku membuang semua
pikiran tentang apa yang mungkin akan terjadi. Surat-surat ini kuambil semua
tak tersisa, lalu kubawa mereka halaman belakang. Aku menaruh mereka semua di
atas abu sissa pembakaran sebelumnya. Kupastikan mereka tenang, Aku mengambil
minyak tanah dan korek di dapur, dan kembali lagi. Hendak menyirami mereka
dengan minyak tanah, tiba-tiba angin datang dan menerbangkan salah satu dari
mereka. Terbang tinggi tak beraturan, Aku hanya melihat. Aku memperhatikan
surat itu terbang ke langit, tak ada maksud lagi disana dan akulah yang
benar-benar tau apa yang harus Aku sampaikan.
Hingga semua surat itu musnah dan menjadi abu sisa
pembakaran. Aku hanya peduli dengan apa yang ingin mereka sampaikan, aku yang
menuliskan tujuanku keapada mereka. Tak seharusnya mereka menjadi paparan dari
keinginanku, yang mungkin bisa ku utarakan sendiri. Butuh sekelumit perjalanan
jauh untuk bisa tersampaikan, dan itu harus kulalui.
Tersadar dalam lamunan di siang itu dengan suara angin
kencang dilangit biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar