+ -

BANNER

BANNER

Kamis, 06 April 2017

Kerel yang Menumpang

Sekarang saya berada di kota yang dulunya pernah menjadi ibu kota revolusi Indonesia, tebak dimana. Beberapa kampus keren juga berdiri megah disini. Yang saya tidak lupa untuk menyebutkan, makanan disini sangat beragam terutama angkringanya.


Setidaknya saya mendapatkan pekerjaan disini setelah menjadi freelance abal-abal. Dahulu berkesempatan untuk mengambil kuliah di kota ini, tawaran dari salah seorang guru saya, sayangnya keluarga tidak memperbolehkan saya untuk jauh dari mereka. Sekarang setelah mengelesaikan pendidikan tampaknya beberapa aturan berubah, mereka tidak lagi worries tentang pendidikan, pekerjaan dan keluarga sudah menjadi pokok pembahasan terutama oleh ayah saya. Tapi jauh di dalam hati, entah kenapa panggilan untuk melanjutkan kuliah terus memanggil. 

Setelah kepergian nenek yang sudah membesarkan saya. Saya menggerti bahwa, saya benar-benar harus siap untuk menjalani hidup seorang diri. Kadang terlihat mudah, kadang terlihat susah, yang sebenarnya hal itu benar-benar mudah setidaknya untuk diucapkan. Banyak hal yang diajarkan nenek kepada saya. Sebelum beliau pergi kepangkuaNya, saya menyatakan untuk melanjutkan kuliah, tetapi beliau melarang karena hal itu sudah cukup. Nenek berharap bahwa ilmu yang saya dapat hendaknya berguna. Saya berharap juga demikian. Sejak sekolah menengah pertama, saya lebih sering bicara dengan nenek dibanding dengan keluarga saya yang lainya. Hingga saat-saat bekerjapun saya bicara tentang keluh kesah menghadapi klien yang nakal minta ampun. Nenek tetap mendukung tanpa pernah meminta saya untuk menjadi orang lain. Menuntun agar masalah apapun tetap agar dapat saya selesaikan sendiri. 

Pertama kali menginjakan kaki di kota ini, saya dikejutkan dengan pelayanan sebuah maskapai. Mereka menginggalkan kerel saya pada penerbangan berikutnya. Bukan empat penumpang lainya yang membuat saya gelisah akibat koper mereka tidak datang bersamaan dengan mereka, tetapi kemungkinan besar untuk kerel saya datang pada keesokan harinya. Materi interview dan beberapa surat penting saya pisahkan di sana, karena saya yakin seperti apapun barang yang saya titipkan mereka akan menjaganya dengan seksama atas ke-profesional-an kerja. Saya juga kurang bijak untuk memasukan surat-surat penting di dalam tas yang mungkin saja beresiko hilang, rusak ataupun delay. saya terlalu fokus dengan laptop dan hardisk. Mendengar cerita dari teman, bahwa ia kehilangan tas yang berisikan set laptop kerja di kabin dalam pesawat beberapa bulan lalu membuat saya bergidik  takut. Kenapa tidak, selain pihak maskapai yang tidak terlalu ngeh dengan kehilangan itu, kerjaan dan karya teman saya itu harus hilang begitu saja. Setidaknya belakangan ia mendapat penghasilan yang lumayan dari situs penjualan font. Alhasil saya memisahkan hardsisk ke dalam tas kecil beserta beberapa alat komunikasi. Sebenarnya saya juga bingung kenapa hal itu saya lakukan, selain hanya karena takut, saya terus kepikiran dengan tulisan-tulisan yang telah saya buat jikalau kehilangan itu semua, apalah jadinya saya.

Kerel dan koper penumpang lain yang semuanya perempuan seumuran dengan saya akhirnya sampai setelah euforia ke-putus-asa-an ditahan agar tidak kisruh. Klasiknya tidak ada pilihan lain kecuali taksi, atau harus berjalan agak jauh keluar area bandara. Bapak yang kelihatanya muda itu menyarankan untuk dimanggil "Mas" ia juga memanggil saya dengan sebutan “Mas”. Dan saya sudah mulai terbiasa dengan itu saat ini. 

Panggi saja mas Uli, adalah seorang pengemudi taksi, orang pertama yang saya ajak bicara. Saya memilih untuk duduk di depan agar dapat menikmati sebat, begitu juga dengan mas Uli, selain menikmat sebat, ia pun harus mengemudi tentunya. Kami bercerita tentang kuliner apa saja yang sedang di gandrungi di kota ini, sembari diselingi teriakan walky-talky mas Uli menunjuk beberapa kafe, restoran, dan kedai yang mesti dikunjungi disetiap tepian jalan. Mas Uli juga bercerita tentang kuliner minuman yang mulai marak di kota salah satunya “TAKESU”, dilihat dari pemahaman mas Uli, saya rasa ia cukup mahir dan terarik dengan usaha berjenis kuliner itu. Memiliki usaha kuliner sepertinya menyenangkan, karena kita tidak perlu lagi memikirkan makan atau minum apa. Toh, sudah tersedia.

Mendengar bahwa saya dulu belajar di jurusan seni, Mas Uli malah curhat tentang permainan gitarnya. Ia merasa tidak bisa menaklukan petikan melodi dari band-band terkenal yang ia sukai. Jadinya mas Uli berkesimpulan bahwa bakat itu istimewa, berbeda dengan keahlian yang dapat diasah dan dipertajam (dipelajari) seperti pisau. Awalnya saya tidak begitu sependapat, karena saya juga merasa tidak terlalu berbakat dalam dunia desain. Karena bakat itu spesial bersyukurlah orang-orang orang yang memilikinya, seperti bakat bermusik, berseni, dan lainya. Rene, dalam bukunya Your Job Is Not Your career juga menerangkan bahwa pekerjaan itu kadang bukanlah passion kita, carrer dan passion itu bisa berjalan berdampingan di jalur yang berbeda. Ah, saya juga tidak terlalu bisa mengambil kesimpulan bahwasanya saya juga belum menjalani hal yang seperti itu. Setidaknya mas Uli terlihat memiliki bakat dalam kuliner. Seperti biasa saya hanya bisa berkata "relatif".

Perjalanan yaang tidak terlalu jauh itu, diakhiri dengan sampainya ditempat tujuan. Kosan seorang teman SMK saya dahulu. Tidak ada pelukan selamat datang, walaupun kami hampir tidak bertemu sekitar empat tahun lamanya. Lagian pelukan selamat datang tidak cukup pantas untuk dipraktekan, mengingkat adanya kerel  berat yang harus diangkat. Mas Uli berlalu dengan taksinya, kamipun meluncur kedalam kosan. Eits, saya teringat sesuatu hal kala itu. Bukan itu! Angkringan!. Yang selama ini hanya bisa dilihat dan dibaca via intenet akhirnya bisa di raba. Angkringan pertama yang saya coba kala itu berjarak agak jauh dari kosan. dengan sebungkus nasi*, beberapa tambahan seperti, tempe tahu,dan gorengan cukup ditutup dengan segelas es susu. Memang saya bukan tipe orang yang suka makan banyak agar kenyang, disini saya menemukan porsi yang pas. dan harga yang merakyat (terjangkau untuk saya).untuk saat ini.
5 SKIZOID: Kerel yang Menumpang Sekarang saya berada di kota yang dulunya pernah menjadi ibu kota revolusi Indonesia, tebak dimana. Beberapa kampus keren juga berdiri m...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >