Sekarang saya berada di kota yang dulunya pernah menjadi ibu
kota revolusi Indonesia, tebak dimana. Beberapa kampus keren juga berdiri megah
disini. Yang saya tidak lupa untuk menyebutkan, makanan disini sangat beragam
terutama angkringanya.
Setidaknya saya mendapatkan pekerjaan disini setelah menjadi
freelance abal-abal. Dahulu berkesempatan
untuk mengambil kuliah di kota ini, tawaran dari salah seorang guru saya,
sayangnya keluarga tidak memperbolehkan saya untuk jauh dari mereka. Sekarang
setelah mengelesaikan pendidikan tampaknya beberapa aturan berubah, mereka
tidak lagi worries tentang
pendidikan, pekerjaan dan keluarga sudah menjadi pokok pembahasan terutama oleh
ayah saya. Tapi jauh di dalam hati, entah kenapa panggilan untuk melanjutkan
kuliah terus memanggil.
Setelah kepergian nenek yang sudah membesarkan saya. Saya
menggerti bahwa, saya benar-benar harus siap untuk menjalani hidup seorang diri.
Kadang terlihat mudah, kadang terlihat susah, yang sebenarnya hal itu
benar-benar mudah setidaknya untuk diucapkan. Banyak hal yang diajarkan nenek
kepada saya. Sebelum beliau pergi kepangkuaNya, saya menyatakan untuk
melanjutkan kuliah, tetapi beliau melarang karena hal itu sudah cukup. Nenek
berharap bahwa ilmu yang saya dapat hendaknya berguna. Saya berharap juga
demikian. Sejak sekolah menengah pertama, saya lebih sering bicara dengan nenek
dibanding dengan keluarga saya yang lainya. Hingga saat-saat bekerjapun saya
bicara tentang keluh kesah menghadapi klien yang nakal minta ampun. Nenek tetap
mendukung tanpa pernah meminta saya untuk menjadi orang lain. Menuntun agar
masalah apapun tetap agar dapat saya selesaikan sendiri.
Pertama kali menginjakan kaki di kota ini, saya dikejutkan
dengan pelayanan sebuah maskapai. Mereka menginggalkan kerel saya pada
penerbangan berikutnya. Bukan empat penumpang lainya yang membuat saya gelisah
akibat koper mereka tidak datang bersamaan dengan mereka, tetapi kemungkinan
besar untuk kerel saya datang pada keesokan harinya. Materi interview dan beberapa surat penting saya
pisahkan di sana, karena saya yakin seperti apapun barang yang saya titipkan
mereka akan menjaganya dengan seksama atas ke-profesional-an kerja. Saya juga
kurang bijak untuk memasukan surat-surat penting di dalam tas yang mungkin saja
beresiko hilang, rusak ataupun delay.
saya terlalu fokus dengan laptop dan hardisk.
Mendengar cerita dari teman, bahwa ia kehilangan tas yang berisikan set laptop
kerja di kabin dalam pesawat beberapa bulan lalu membuat saya bergidik takut. Kenapa tidak, selain pihak maskapai yang
tidak terlalu ngeh dengan kehilangan itu, kerjaan dan karya teman saya itu
harus hilang begitu saja. Setidaknya belakangan ia mendapat penghasilan yang
lumayan dari situs penjualan font. Alhasil
saya memisahkan hardsisk ke dalam tas
kecil beserta beberapa alat komunikasi. Sebenarnya saya juga bingung kenapa hal
itu saya lakukan, selain hanya karena takut, saya terus kepikiran dengan
tulisan-tulisan yang telah saya buat jikalau kehilangan itu semua, apalah
jadinya saya.
Kerel dan koper penumpang lain yang semuanya perempuan
seumuran dengan saya akhirnya sampai setelah euforia ke-putus-asa-an ditahan
agar tidak kisruh. Klasiknya tidak ada pilihan lain kecuali taksi, atau harus
berjalan agak jauh keluar area bandara. Bapak yang kelihatanya muda itu menyarankan
untuk dimanggil "Mas" ia juga memanggil saya dengan sebutan “Mas”. Dan
saya sudah mulai terbiasa dengan itu saat ini.
Panggi saja mas Uli, adalah seorang pengemudi taksi, orang
pertama yang saya ajak bicara. Saya memilih untuk duduk di depan agar dapat
menikmati sebat, begitu juga dengan mas Uli, selain menikmat sebat, ia pun
harus mengemudi tentunya. Kami bercerita tentang kuliner apa saja yang sedang
di gandrungi di kota ini, sembari diselingi teriakan walky-talky mas Uli menunjuk beberapa kafe, restoran, dan kedai
yang mesti dikunjungi disetiap tepian jalan. Mas Uli juga bercerita tentang
kuliner minuman yang mulai marak di kota salah satunya “TAKESU”, dilihat dari
pemahaman mas Uli, saya rasa ia cukup mahir dan terarik dengan usaha berjenis
kuliner itu. Memiliki usaha kuliner sepertinya menyenangkan, karena kita tidak perlu
lagi memikirkan makan atau minum apa. Toh, sudah tersedia.
Mendengar bahwa saya dulu belajar di jurusan seni, Mas Uli
malah curhat tentang permainan gitarnya. Ia merasa tidak bisa menaklukan petikan
melodi dari band-band terkenal yang ia sukai. Jadinya mas Uli berkesimpulan
bahwa bakat itu istimewa, berbeda dengan keahlian yang dapat diasah dan dipertajam
(dipelajari) seperti pisau. Awalnya saya tidak begitu sependapat, karena saya
juga merasa tidak terlalu berbakat dalam dunia desain. Karena bakat itu spesial
bersyukurlah orang-orang orang yang memilikinya, seperti bakat bermusik, berseni,
dan lainya. Rene, dalam bukunya Your Job
Is Not Your career juga menerangkan bahwa pekerjaan itu kadang bukanlah passion kita, carrer dan passion itu
bisa berjalan berdampingan di jalur yang berbeda. Ah, saya juga tidak terlalu
bisa mengambil kesimpulan bahwasanya saya juga belum menjalani hal yang seperti
itu. Setidaknya mas Uli terlihat memiliki bakat dalam kuliner. Seperti biasa
saya hanya bisa berkata "relatif".
Perjalanan yaang tidak terlalu jauh itu, diakhiri dengan
sampainya ditempat tujuan. Kosan seorang teman SMK saya dahulu. Tidak ada
pelukan selamat datang, walaupun kami hampir tidak bertemu sekitar empat tahun
lamanya. Lagian pelukan selamat datang tidak cukup pantas untuk dipraktekan, mengingkat
adanya kerel berat yang harus diangkat.
Mas Uli berlalu dengan taksinya, kamipun meluncur kedalam kosan. Eits, saya teringat
sesuatu hal kala itu. Bukan itu! Angkringan!. Yang selama ini hanya bisa
dilihat dan dibaca via intenet akhirnya bisa di raba. Angkringan pertama yang
saya coba kala itu berjarak agak jauh dari kosan. dengan sebungkus nasi*,
beberapa tambahan seperti, tempe tahu,dan gorengan cukup ditutup dengan segelas
es susu. Memang saya bukan tipe orang yang suka makan banyak agar kenyang,
disini saya menemukan porsi yang pas. dan harga yang merakyat (terjangkau untuk
saya).untuk saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar