+ -

BANNER

BANNER

Sabtu, 21 Desember 2013

Surat Menyampaikan



Sudah beberapa bulan berlalu, tapi tumpukan kertas ini belum sempat Aku amplopkan. Pedih rasanya melihat mereka yang telah kugores tak sampai kepada maksud. Seiring berjalanya waktu mereka makin tua  dan tak berarti. Waktulah yang membuat mereka begitu. Dan waktulah yang membuatku tak memasukan mereka ke dalam amplop. Mereka marah, aku tau. Hanya tetesan air mata yang kuberikan kepada mereka, aga mereka tenang dan diam. 


Denting jam berlalu tetapi ia masih tetap berada di angka dua, dan di angka dua belas di jarum lainya. Terik siang itu membakar semua pedih dihadapan surat-surat untuknya. Angin datang melalui jendela yang terbuka lebar didepanku, seakan ia menawarkan diri untuk mengirimka surat-surat itu kepadanya. Tetapi aku tolak, aku merangkul semua surat-surat itu.

“jangan, jangan saat ini... jangan sampaikan kepadanya..!!!” teriaku dalam hati.

Anginpun merasa tak dihargai ia pergi tanpa sepatah katapun. Tetapi ia masih bisa menyemangatiku, memegang pundaku agar aku tegar. Indah melihat angin lalu lalang di antara teriknya matahari. Aku beranjak keluar setelah kusimpan surat-surat itu di dalam laci kecil, bagian kanan meja. 

Menuruni tangga yang seakan akan runtuh, tangan ini sudah tidak lagi kuat menopang dera cambukan batin tiada habis. Kuhitung anak tangga yang aku lalui, secepat aku menghitung secepat itulah aku lupa berapa anak tangga yang aku lewati. Menyibak keadaan gelap menuju pintu keluar, hingga aku sampai pada gagang pintu. Membuka hingga terbuka aku terkejut. Aku terperangah dengan teriknya matahari dari dari bibir pagar. Aku memberanikan diri untuk melangkah, menyusuri panasnya matahari tanpa alas kaki. Biar, biarkan panas ini membasuh semua rasa bersalahku kepada surat-surat itu.

Untuk beberapa saat berlalu aku sampai disebuah warung, tanpa alas kaki, kaos oblong, celana jeans lusuh dan rambut acak-acakan. Aku membeli sebuah minuman cola hingga  terima kembalian uangku tak sepatah katapun dari penjaga warung, yang mungkin masih sebaya denganku. Aku duduk dibangku warung itu, tepat di depan warung dan sebuah cola kaleng. Sekitar tak ada orang satupun, mungkin mereka sedang menikmati sejuknya kedaan rumah mereka. Merebahkan diri didepan tlevisi dan menyaksikan acara membosankan membuat mereka menguap kantuk.

Aku melihat burung-burung gereja terbang rendah di sekitar bangunan tepatnya di depan warung. Alangkah bebasnya jika aku adalah seekor burung, paling tidak aku hanya butuh waktu tiga belas tahun untuk bersenang-senang tanpa tekanan dan tuntutan hidup. Dalam hidup banyak aspek yang diperhitungkan, jika ingin tidak menghitung hal tersebut sama halnya dengan rasa cola yang aku teguk ini. aku menark nafas panjang, terlalu berat yang bahwasanya cukup lega. 

Tepat semua terjadi dibelakangku, namun tak kusadari bila Aku mengetahuinya. Aku terlalu egois dengan berbagai alasan logis yang Aku miliki. Alasan tentang bagaimana aku tak mengirimkan surat itu kepadanya. Namun dibalik itu semua tidak ada alasan untuk tidak mengirimkan surat itu.

Aku beranjak pulang, yang kurasakan sama halnya dengan berjalan ke warung tadi. Untuk kedua kalinya aku lebih menerima keadaan terik dan jalan panas yang aku lalui. Benar untuk kedua kalinya semua terasa mudah diterima walaupun terbesit untuk menyangkal. Semua mungkin bisa terulang untuk kedua kalinya dengan kadar keadaan yang mungkin lebih maupun kurang. Semua tergantung pada pilihan pilihan. Dan pilihan yang direncanakan memiliki nilai lebih dalam faktor inkubasi pilihan lainya. 

Aku membasuh kaki, tangan dan muka setelah memasuki rumah, seakan otakku mulai di hidupkan ulang lagi. Aku tau bahwasanya ini adalah perasaan sementara, yang mungkin akan berubah seiring berjalanya waktu. Aku beranjak kembali ke kamar, kubuka laci keil sebelah kanan meja. Aku membuang semua pikiran tentang apa yang mungkin akan terjadi. Surat-surat ini kuambil semua tak tersisa, lalu kubawa mereka halaman belakang. Aku menaruh mereka semua di atas abu sissa pembakaran sebelumnya. Kupastikan mereka tenang, Aku mengambil minyak tanah dan korek di dapur, dan kembali lagi. Hendak menyirami mereka dengan minyak tanah, tiba-tiba angin datang dan menerbangkan salah satu dari mereka. Terbang tinggi tak beraturan, Aku hanya melihat. Aku memperhatikan surat itu terbang ke langit, tak ada maksud lagi disana dan akulah yang benar-benar tau apa yang harus Aku sampaikan.

Hingga semua surat itu musnah dan menjadi abu sisa pembakaran. Aku hanya peduli dengan apa yang ingin mereka sampaikan, aku yang menuliskan tujuanku keapada mereka. Tak seharusnya mereka menjadi paparan dari keinginanku, yang mungkin bisa ku utarakan sendiri. Butuh sekelumit perjalanan jauh untuk bisa tersampaikan, dan itu harus kulalui. 

Tersadar dalam lamunan di siang itu dengan suara angin kencang dilangit biru.
5 SKIZOID: Surat Menyampaikan Sudah beberapa bulan berlalu, tapi tumpukan kertas ini belum sempat Aku amplopkan. Pedih rasanya melihat mereka yang telah kugores tak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >